Pidato Lengkap Sri Mulyani Tangani Pegawai Kemenkeu Agar Tak Radikal
Berita, PanditBola.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi pembicara dalam Temu Kebangsaan bertajuk Merawat Semangat Hidup Berbangsa. Hadir pula Menpolhukam Mahfud MD dan Sekjen Gerakan Suluh Kebangsaan Alissa Wahid.
Isu kebangsaan dan kebhinekaan menjadi topik diskusi para tokoh yang hadir. Sri Mulyani didapuk menceritakan pengalamannya menangani pegawainya yang eksklusif baik dari sisi religiusitas maupun primordial, agar tak menjadi radikal.
Sri Mulyani membuka cerita mengenai hal itu, saat kembali ke Indonesia tahun 2016 karena diminta Presiden Jokowi untuk menjadi Menteri Keuangan. Saat itu, dalam suasana yang sibuk mengembalikan APBN berfungsi dan mendekati Pemilu, dia melihat ada polarisasi di lingkup pegawai kemenkeu. Kondisi berbeda saat ditinggalkannya 6 tahun sebelumnya.
Berikut pidato lengkap Sri Mulyani saat menceritakan pengalamannya menangani pegawai Kemenkeu yang eksklusif agar tak menjadi radikal:
Saya kembali ke Indonesia tahun 2016 dan masih dalam suasana yang sibuk mengembalikan APBN berfungsi. Namun menjelang, mendekati Pemilu dan setelah saya kembalipun, saya mengobservasi Kemenkeu yang telah saya tinggalkan 6 tahun. Ada ketegangan di bawah permukaaan.
Kelihatan jajaran saya visibly, lebih terlihat religiusitasnya. Jadi ketika meeting ada azan salat, langsung berbondong-bondong. Dan tentu saja dari sisi cara berbaju kelihatan oleh Pak Menag. Ini masalah sensitif dan ini akan saya sampaikan bahwa ini menjadi conversation di dalam internal Kemenkeu.
Jadi appearence atau penampilan yang menunjukkan indentitas, kebetulan kalau yang beragama Islam, itu dalam bentuk jenggot dan celana cingkrang. Dan juga bahkan untuk beberapa interaksinya menjadi eksklusif, terkotak. Kita merasakan betul. Tapi juga ada ketegangan. Jadi implementasi religiusitas di dalam birokrasi tidak menimbulkan ketenangan, malah ada di bawah permukaan suatu ketegangan. Dan suasana itu saat menjelang pemilu semakin mengeras. Karena adanya polarisasi dalam Pemilu.
Sehingga kami di kemenkeu, yang 87.000 orang ini harus betul-betul. Karena secara UU, RI ini kita sudah sepakat untuk demokrasi. Demokrasi itu berarti memberikan hak kemerdekaan untuk setiap individu mengekspresikan dirinya. Tapi di sisi lain, memiliki kesepakatan untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Itu suatu tension yang terlihat sekali struggle. Suatu pergolakan perjuangan di antara kita sendiri. Baik secara pribadi maupun institusi. Ini sesuatu yang harus direkonsiliasi.
Yang kedua, ASN by law harus netral. Nah mengimplementasi netralitas pada Pemilu dan di sisi lain mereka masing-masing punya preference politik. Itu seperti apa? Itu juga jadi sesuatu yang harus dibicarakan. Bisa saja saya sebagai Menkeu bilang kamu netral, tapi konkretnya apa? Isu kemenkeu kadang-kadang tidak netal secara politik karena isu keuangan negara jadi poin salah satu kandidat untuk bertarung.
Masalah pajak, utang, masalah macam-macam policynya. Lalu netralnya gimana? Kita sedang menjalankan UU APBN, itu sesuatu kompleksitas yang orang lain tidak terlalu nyata, bagi kami itu nyata. Di dalam konteks inilah dialog atau percakapan di dalam internal kemenkeu antar ASN, birokrasi, itu menjadi sangat penting.
Rasanya untuk isu seperti ini, value, karakter, sikap, tidak bisa hanya satu pidato. Harus ada conversation (pembicaraan). Bagaimana memulai conversation, memulai motivasi sebagai institusi. Jadi dikembalikan lagi logical science nya.
RI itu lahir tidak ujuk-ujuk, ada suatu proses. Hampir semua proses di awal UUD 45. Setiap upacara di kemenkeu, UU itu selalu dibaca di upacara, mengingatkan kembali siapa kita sebagai Indonesia dan kenapa Indonesia dilahirkan.
Saya kolonial, saking lama hidup dan menuju ke mana, tapi gak juga. Kadang rada sepuh itu tidak tahu ke mana dan kenapa dia lahir. Sama dalam menjalankan RI ini. Ide dasar awal kemerdekaan, dengarkan dan resapi. Resapi RI itu beda dan perjuangan pergerakan RI telah sampai lah di gerbang pintu. Menggunakan kata-kata itu waktu para pendiri bangsa memproklamirkan dan akan terus estafet dari gerbang pintu.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Saya sering di awal pidato, dalam keuangan negara, yang dulu totally miskin, tapi mereka punya ide besar, ikut menerbitkan dunia, dalam menjalankan prinsip-prinsip luar biasa. Amazinggg.
Saya sebagai Kemenkeu, bulu kuduk saya merinding. Vision itu bisa lahir dan itu anugerah untuk RI. Take for a granted for read saja, ini titipan cita-cita dan harapan pendiri bangsa. Motivasional ini saya tekankan.
Bendahara negara dengan tadi cita-cita besar, relevansinya what kind birocracy yang berikrar sebagai institusi kemenkeu. Mengkonek RI dan fungsi sebagai bendahara negara.
Mungkin salah satu pelantikan pidato saya cukul viral dan setiap pelantikan, waktu recruitment ASN baru dari STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) atau dari umum, ikrar menyampaikan janji, disumpah. Baca sumpah itu bukan untuk saya. Mereka di atas kitab suci masing-masing untuk disumpah. Setia untuk menjaga Pancasila dan UUD dan bersumpah tidak akan korupsi dan lain-lain.
Membuat sumpah itu tidak ada tekanan. Bahkan anda semuanya berjuang mati-matian mengalahkan orang lain untuk bisa masuk kementerian keuangan. It's your choice, no one asking you untuk masuk Kemenkeu. Dan untuk masuk ke institusi ini, kalian mulainya dengan sumpah dan sumpah itu sangat jelas mengatakan bahwa kita akan menjaga NKRI, setia. Jadi saya mengatakan tugas saya sebagai menteri keuangan gampang. Kamu sumpahnya kepada yang menciptakan. Kamu melanggar kepada yang menciptakan, bukan kepada saya.
Kalau kamu makhluk religius, apalagi yang islam, rajin salat. Bahkan dengan salat sunah, kamu tidak akan melanggar janji kamu kepada yang maha kuasa. Dikembalikan lagi kepada logika seperti itu. Karenanya saya mengatakan, 'karena Anda makhluk dewasa yang sudah bersumpah dan sumpah itu bukan kepada atasan kalian tapi kepada yang menciptakan kalian, ya jalankan'. Kenapa ketimbang menjalankan sumpah itu kita menciptakan suatu eksklusifisme di dalam kehidupan kita sebagai ASN.
Bahkan ada kecenderungan untuk membenturkan, kalau menjadi makhluk religius maka kamu tidak bisa jadi ASN yang setia ke NKRI. Itu kan tidak benar. Upaya untuk membenturkan, seolah-olah you have no choice between dua. Dalam konteks inilah kemudian kami membuat conversation, percakapan.
Percakapan itu maksudnya antar keluarga Kemenkeu. Jadi di dalam rapat pimpinan kementerian keuangan, itu sesudah pemilu, Saya sampaikan begini. 'Kita di kementerian keuangan dipersepsikan begini. Saya semenjak menjadi kementerian keuangan sering mendapat WA,
ada yang percaya khilafah, ada yang masuk dari HTI, dan banyak sekali masukan.'
Saya sebagai pimpinan dapat masukan seperti ini harus bertanggung jawab. Saya dapat masukan seperti ini, kalau ini fitnah berarti harus diclearkan. Yuk kita ngobrol. Kenapa ada persepsi, dan itu tidak cuma di Kemenkeu, sumber kemenkeu yakni STAN kita juga sudah dianggap sudah sangat sistematicly infiltrated. Jadi kami buat percapakan di antar pimpinan.
Kalian kan sudah ada di puncak karir eselon I. Yang membedakan saya dengan anda adalah cuma garis takdir saja. Saya jadi menteri kalian tidak. Tapi mayoritas Anda dari awal masuk kemenkeu dan sekarang sudah ada di puncak karirnya. Eselon satu, atau bahkan nanti ada yang retype dalam eselon II. Jadi ini adalah posisi kalian di puncak karir Anda.
Arti puncak karir adalah sesuatu yang sangat penting karena posisi mereka sebagai pimpinan kemenkeu. Anda memiliki suatu tanggung jawab luar biasa tidak hanya mengelola keuangan negara. Saya mulai masuk dalam kebangsaan tadi. Kemenkeu 87.000, kita merekrut dari seluruh Indonesia, saya tanya eselon 2 dari papua? Tidak ada Pak. Eselon I kita?
Kalau kita mau bicara soal primordialisme, kita identitas. Belum lagi primordialitasnya itu macam-macam kita. Tidak cuma suku, agama, tapi juga universitasnya mana.
Kalau Anda mau bicara tentang inklusif institution, itu artinya apa? Jadi ada masalah korupsi, persepsi Kemenkeu diinflitrasi dengan paham eksklusif intoleran dan kemudian menurut BNPT mulanya dari eksklusif, intoleran, menjadi radikal.
Saya mengatakan kepada mereka. 'Kalau saya diminta menjadi menkeu, kalau saya diminta ngomongin keuangan negara, saya cukup ahli soal itu. Tapi kalau ngomongin radikalisme, toleransi, inklusivisme, aku tidak ahli, tapi aku punya instuisi.'
Saya akan memberikan anakedot di Kemenkeu untuk menggambarkan ketegangan yang tejadi di kementerian keuangan. Ada seorang esselon 2 dari Bali, kami Assigned anak buahnya tidak mau karena dia bukan muslim. Orang bali itu di kamarnya membawa patung, dia bawa patung Garuda biasa saja. Dan anak buahnya menganggap itu tidak boleh. Patung itu hampir dirusak pokoknya, dibuang.
Jadi kalau saya ngomong soal ini, ini sesuatu yang real. Jadi waktu kami buat conservation, saya buka di Dhanapala, biasanya kan untuk perkawinan ya. Bayangkan esselon 2 itu jumlahnya 225. Semua eselon 2 itu Kakanwil pajak, DJKN, dan direktur-direktur di pusat dan semua eselon I.
Kita ngomong biasa sebetulnya, tidak direncanakan untuk celebrate kesatuan sehabis pemilu. Seperti biasa, saya menteri yang tidak bisa diatur dan saya gunakan kesempatan itu untuk dialog. 'Kemenkeu menjaga persatuan dan kesatuan. Sekarang saya mau tanya di dalam kemenkeu ada yang pakai celana cingkrang dan berjenggot dan tidak mau salaman sama saya'. Saya tahu ini sensitif, saya tidak dalam rangka mengoffense apapun.
Di sisi lain, kita ngobrol akhirnya dan orang yang memang fisicly appears, sekarang saya ingin dengar Anda. Bahkan suatu saat di instagram mereka upload kalimat yang...
Sekarang saya mau tanya kepada Anda, Anda adalah posisinya eselon II dari Kementerian Keuangan. Kalau Anda mengupload gambar yang mungkin itu adalah ekspresi dari perasaan kalian, Anda tidak bisa memisahkan diri sebagai pejabat publik. Jadi itu adalah konsekuensinya. Barangkali kalian agak terpaksa menerima. You can't no longer become private citizen. Karena apapun yang Anda upload di instagram walaupun itu atas nama pribadi, seperti saya punya instagram, orang akan mengasosiasikan itu dengan Kementeriannya.
Jadi kalau Anda mau tetap jadi pejabat yang membawa tanggung jawab sebagai institusi negara, Anda harus behave sesuai itu. Kalau Anda mulai mengupload barang-barang dan bahkan kalimat-kalimat yang eksklusif, itu Anda memviolate pekerjaan Anda sendiri. Itu satu. Aku tidak ngelarang, tapi Anda nggak fit saja jadinya. Bener nggak saya tanya?
Terus saya tanya, apa motivasi Anda membuat ekspresi gambar-gambar seperti itu? apakah Anda merasa lebih religius atau Anda merasa seperti apa? Saya hanya ingin tahu saja. Jadi Bapak/ Ibu sekalian, behave a very sensitive delicate conversation. Waktu itu direkam seperti itu, saya bilang tolong semua kamera dimatikan, saya tidak mau direkam supaya kita bisa merasa nyaman bicara di dalam keluarga. Sama seperti saya mengibaratkan, karena saya satu dari 10 anak, orang tua saya kalau ada sesuatu yang serius kita akan duduk di meja makan conversation keluarga.
This is the savest place you can speak. Saya mengatakan, ini tempat paling aman untuk Anda bicara. Kalau Anda tidak mau bicara dan malah main di luar, Saya juga akan bisa melakukannya dari luar. Tapi saya sebagai pimpinan kementerian keuangan membuat tempat ini untuk Anda bicara. Jadi bapak ibu sekalian, it's just amazing. Saya takjub dengan reaksi mereka.
Mulanya mereka tidak mau bicara. Akhirnya saya datangi saya bawa mic. Ini coba kamu bicara. Yang tadi appearence pakai celana cingkrang. Coba kamu bicara. Amazingly ceritanya macam-macam. Ada yang penuh wisdom, ada yang penuh dengan wisdom family. Ada yang ibu mungkin tidak tahu kalau keluarga saya non islam. Loh kalau kamu datang dari keluarga yang non islam, lalu kamu appear sebagai islam yang eksklusif maksud kamu apa?
Jadi that kind of conversation muncul karena kamu berpenampilan seperti itu. Sekarang saya pergi ke yang non islam. Saya pergi ke yang kristen dan yang hindu. Coba kalian sekarang ngomong terus terang persepsi kalian terhadap teman kalian yang bersikap seperti itu. Mereka mengatakan belum berani mengatakan. Itu kemerdekaan tapi kita semua dalam kementerian keuangan kan ada rambu-rambu.
Jadi bapak ibu sekalian, my point, di dalam keluarga kementerian keuangan itu saya minta mereka bicara persepsi satu sama lain. Yang tadinya painful. Dan saya tahu waktu itu sampai hampir lebih jam 12. That's very painful. Energi saya sampai habis terkuras. Itu lebih susah dari mengurusi keuangan negara. Betul. Betul. Saya bilang saya capek tapi saya puas dan kita janjian. Oke malam ini kita tidur, saya ingin pertemuan ini satu bulan lagi di mana kita akan bicara lebih dalam lagi.
Saya menyampaikan kepada mereka saya menteri keuangan yang tidak ahli di bidang kebangsaan, toleransi, tapi kita punya intuisi kalau kita perlu ngomong. Jadi akhirnya kita punya series conversation yang kedua lebih bagus. Lebih cair. Sampai kemudian memunculkan banyak hal yang saya mengatakan 'coba kalau kalian di dalam keluarga, begitu kita lagi rapat, terus kalian yang Islam dengan langsung meninggalkan ruang rapat, ada sedikit atau tidak sih perasaan toleransi dengan mengatakan maaf ya kita mau salat dulu'. Event small gesture like that menggambarkan bahwa Anda care terhadap orang lain yang berbeda dengan Anda. Karena kalau tidak, Anda akan menganggap orang tuh semua sama kayak Anda.
Saya itu sampai yang namanya jutlak dan juknisnya. Coba kita mulai sekarang kalau makan siang, jangan makan siang dengan teman yang sama. Yang agamanya sama, yang masjidnya sama, yang dulu kos kosannya sama, yang dulu masuk STAN sama. Itu teman yang kalian ajak makan siang membuat kalian akan menjadi orang yang begitu terus. Supaya kalian kenal.
Saya sering menggunakan pengalaman pribadi. Saya tinggal di Amerika beberapa kali. Yang terakhir enam tahun. Kalau Anda tidak pernah menjadi minoritas, Anda akan susah sekali memahami. Di Amerika sebagai muslim saya minoritas. Di world bank saya kerja waktu Ramadan, saya puasa. Bayangkan pagi-pagi kita rapat saya puasa, mereka minum kopi, aduh enak banget baunya, apalagi kalau winter. Mereka enak banget minumnya di depan saya. Mereka tidak peduli atau tahu apakah saya puasa atau tidak. 'Kamu puasa ya Sri Mulyani, sorry ya'. Waktu mereka sudah bisa ngomong begitu kita sudah merasa senang. Tahu bahwa saya puasa. Hanya mengatakan, 'oh Sri Mulyani, are you fasting, sorry ya'. Terus ada yang mereka yang menganggap kalau puasa itu cuma tidak makan. 'Jadi, are you also fasting not drinking? How come? For hour'. Waktu itu kalau pas lagi summer itu puasanya bisa sampai 16 jam. Buka puasanya bisa sampai jam 8 atau 1/2 9 malam. 'Can you still thinking? Are you still functioning?' Bayangkan saya harus memimpin rapat.
Bapak ibu sekalian, hal-hal kecil seperti itu, menggambarkan waktu Anda sebagai minoritas dan mereka pay attention to you untuk kebutuhan yang sifatnya sangat private, itu means a lot. Jadi sikap toleransi itu tidak mungkin diceramahkan, tapi harus melalui experience. Saya minta kalau anda mau experience, Anda tidak boleh ketemu sama orang yang homogenous seperti anda.
Maka waktu itu di suatu saat di acara seperti ini, saya bertemu dengan seseorang yang menjadi penggerak, bhinneka tunggal ika, program sabang merauke. Waktu saya ngobrol sama yayasan sabang merauke itu, dia cerita tentang program satu minggu. Anak dari keluarga yang lain tinggal di keluarga yang lain yang beda agama, beda suku. Saya bilang, 'Kementerian keuangan kan miniatur Indonesia, aku mau ah seperti itu'. Saya minta yayasan sabang merauke untuk mengassist kita. Jadi waktu anak-anak libur, saya mengatakan mandatory, esselon I dan II menerima anaknya karyawan yang beda agama, tinggal di rumah Anda. Saya minta volunteer. Mulanya waktu itu tidak lebih dari 30 orang. Terakhir kemarin sudah cukup banyak Tahun depan kita mau lebih dari 100.
Dan mereka yang merasakan menerima anak, ada yang dari Bali tinggal di rumahnya keluarga muslim, ada yang dari batak tinggal di rumahnya keluarga Jawa atau Sunda dan Muslim. Ternyata dari conversation mengatakan, tadinya saya pikir kalau orang Islam itu melihat kita itu seperti apa. Ada yang muslim tinggal di tempatnya yang Kristen mengatakan saya pikir semua makanannya dari Babi. Jadi begitu banyak persepsi yang membelenggu kita dan menyebabkan kita tidak bisa menjadi manusia merdeka.
Mengerti perbedaan saja itu suatu tahap yang sulit, dari mulai mengerti, memahami, sampai dia toleran, itu tahap yang sulit yang tidak bisa cuma anda ngomong dengan pasal-pasal dan ayat-ayat.
Jadi artinya kami di kementerian keuangan, kalau tadi bicara masalah kebangsaan, sebagai pimpinan kita berpikir sangat detil dan keras untuk memahami organisasi kita dan pengalaman kebangsaan dari anak buah kita.
Dan ternyata Bapak Ibu sekakian, waktu saya membuat conversation ini, muncul lah tulisan-tulisan yang amazingly beautiful. Nanti saya akan sampaikan ke Anda semua. Di kementerian keuangan kan Anda akan ditempatkan di berbagai di Indonesia, ada orang Jawa kemudian dia harus di pulau luar jawa. Bagaimana dia berhadapan dengan kebiasaan yang berbeda. Dan setiap kepala kantor itu punya wisdom yang berbeda. Namun ceritanya itu indah menunjukan kalau mereka punya keinginan untuk terbuka reaching out, tidak membuat prejudice, mereka mulai bisa. Itu biasanya jauh lebih sukses.
Dari berbagai pengalaman ini kami sedang memformulasikan bagaimana kementerian keuangan menjadi perekat bangsa. Mulai dari masukan di STAN, kita mulai totally berubah. Aktivitas mahasiswa tidak lagi berdasarkan primordial. Kita mau kalau antar agama ada interfaith, aktivitas yang jauh lebih inklusif sampai kemudian dia masuk ke kementerian keuangan.
Pada akhirnya, saya ingin tutup dengan mengatakan kita itu perekat bangsa. Namun tugas utama kita tetap mengelola keuangan negara. Negara ini keuangannya akan kuat kalau negaranya aman bersatu. Jadi kita punya interest untuk membuat negara ini terus damai dan kementerian keuangan sebagai institusi yang punya tugas dan privilege yang sangat banyak diberikan negara kepada kita. Kita punya tanggung jawab lebih besar untuk terus melakukan itu. Inilah yang kita sedang dan terus akan lakukan dan ini dilakukan bersama-sama dengan mensosialisasikan dan value di dalam kementerian keuangan sendiri.
Integritas, profesionalitas, pelayanan, sinergi, dan kesempurnaan. Itu lima values di kementerian keuangan. Kita lakukan setiap hari.
Jadi saya ingin tutup dengan mengatakan, mungkin untuk kita semua memaknai kebangsaan itu tidak hanya sekadar menghapal UUD 1945 atau Pancasila. Tapi kita sebagai makhluk, setiap hari harus memutar ulang dan menanyakan ke diri kita relevansi nilai-nilai itu.